Hukum Haji Ketika Masih Anak Kecil

Hukum Haji Ketika Masih Anak Kecil - Sahkah bila anak kecil naik haji? Atau jika ia haji ketika kecil, apa mesti saat dewasa haji wajibnya mesti ditunaikan lagi?

Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom no. 718. Dari Ibnu ‘Abbas, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau pernah bertemu dengan sekelompok orang yang berkendaraan di Rawha’, lalu ia bertanya, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami adalah kaum muslimin.” Kemudian mereka bertanya, “Siapakah tuan?” Beliau menjawab, “Aku adalah Rasulullah.” Kemudian ada seorang wanita yang mengangkat seorang anak kecil (yang masih menyusui, -pen) di hadapan beliau lalu bertanya, “Apakah jika anak ini berhaji, hajinya teranggap?” Beliau menjawab, “Ya dan untukmu juga ada pahalanya.” (HR. Muslim no. 1336).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1.   Hadits di atas menunjukkan sahnya haji dari anak kecil meskipun belum usia tamyiz (membedakan baik dan buruk, -pen). Jika orang tua membantu anaknya dalam berhaji sebagaimana orang-orang yang berhaji, maka hajinya sah.

2.   Apakah haji yang dilakukan oleh anak kecil tersebut teranggap sebagai hajjatul Islam (haji yang wajib)? Di sini para ulama berselisih pendapat. Mayoritas ulama berpandangan bahwa hajinya tidak dianggap sebagai hajjatul Islam (haji Islam atau haji yang wajib). Sedangkan yang lainnya berpendapat sahnya haji dari anak kecil berdasarkan hadits ini.
Yang rojih atau pendapat terkuat, hajinya adalah bukan hajjatul Islam, artinya ia masih punya kewajiban untuk berhaji ketika ia dewasa. Karena ada hadits yang mendukung pendapat ini yaitu dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Siapa saja anak kecil yang berhaji lalu ia dewasa, maka ia masih punya kewajiban haji yang lain. Begitu pula budak yang berhaji, kemudian ia dimerdekakan, maka ia masih punya kewajiban haji yang lain” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Al Baihaqi, dan perowinya tsiqoh. Hadits ini diperselisihkan apakah marfu’ yaitu sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah mauquf hanya perkataan Ibnu ‘Abbas. Yang dirajihkan oleh Ibnu Hajar, hadits ini mauquf. Ulama lainnya semisal Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan menganggap hadits ini marfu’).

3.   Jika seseorang melakukan thowaf sambil memikul yang lain, maka orang yang memikul dan dipikul sama-sama dinilai melakukan thowaf termasuk di sini adalah anak kecil yang berthowaf dalam keadaan ihram.

4.   Boleh seorang wanita meminta fatwa pada pria non mahram asalkan wanita tersebut tidak melembut-lembutkan suaranya. Karena Allah Ta’ala perintahkan,
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. Al Ahzab: 32).

5.   Hadits ini dibawakan oleh Imam Nawawi dalam Riyadhus Sholihin dalam Bab “Saling Tolong Menolong dalam Kebaikan dan Takwa” karena anak yang berhaji di sini ditolong oleh orang tuanya dalam melakukan ibadah. Orang tuanya pun akan mendapatkan pahala karena perbuatannya tersebut.

6.   Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu tawadhu’ tanpa membedakan sahabatnya dan orang lain saat ditanya lalu beliau memperkenalkan diri.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan ketiga, tahun 1432 H, hal. 169-172.
Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1432 H, hal. 104.

Disusun di pagi hari penuh berkah, di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 18 Dzulqo’dah 1434 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/haji-ketika-kecil.html